oleh Hali
Dua puluh tahun lalu, seorang teman mengirimkan putrinya untuk kuliah ke Singapore. Prestasi sang putri amat menonjol. Dia memperoleh beasiswa untuk studi ke negeri singa.
Studi berjalan relatif mulus. Beberapa kali ada teman sekelas sakit, dia mengambil inisiatif yang positif. Apa yang diperbuatnya? Dia meminjamkan catatan kuliah kepada temannya. Ini merupakan upaya menolong sesama teman sekelas. Kebanyakan teman-teman sekelasnya notabene penduduk Singapore.
Suatu hari, giliran si putri yang sakit. Dia tidak bisa pergi kuliah. Besok-besoknya dia hendak meminjam catatan teman. Di sinilah ceritanya mulai. Minta pinjam pada satu teman, tidak dipinjami. Tanya lagi ke teman lain, begitu juga jawabannya. Cari rekan sekelas lagi, tetap saja tidak dipinjamin.
Si putri menjadi sedih sekali. Sewaktu mereka sakit, dia meminjamkan catatan kuliahnya. Sekarang giliran dia yang sakit, tak ada teman yang rela meminjamkan catatan kuliah. Dia tidak habis pikir tentang kondisi ini. Di sinilah untuk pertama kali dia belajar mentalitas hidup.
Kejadian seperti ini sudah lumrah di sana. Rupa-rupanya begitulah mentalitas mahasiswa Singapore. Ada sebuah mentalitas yang sering disebut orang sebagai kiasu. Kiasu merupakan perkataan dalam bahasa Hokkian dan Tiociu. Kiasu dapat diterjemahkan sebagai “takut kalah.” Takut kalah dalam arti, di tengah berkompetisi, mentalitasnya takut kalah.
Bapak Ibu Saudara-Saudariku sekalian, jangan heran apabila Anda mengirimkan keluarga Anda studi ke sana. Jangan heran bila ada teman Anda yang bekerja ke sana. Cepat atau lambat mereka akan menemukan mentalitas kiasu.
Yang paling berbahaya adalah apabila keluarga atau teman Anda terjebak juga. Akan berbahaya sekali jika mereka juga terjangkit mentalitas kiasu di Singapore. Berhati-hatilah! Berwaspadalah! Anda boleh studi, hidup dan bekerja di Singapore, tetapi jauhkanlah diri Anda dari mentalitas kiasu!
Waduh kasihan ya anak dari Indo
SukaSuka
Mentalitas payah deh
SukaSuka